"Tanggung nih bu, sebentar lagi juga pulang. Nanti, biar saya temuin setelah pelajaran selesai," kataku sedikit beralasan.
"Sebaiknya kamu temuin dia sekarang, barangkali ada yang penting."
Aku mengangguk saja mendengarkan sarannya.
"Asti!"
Aku menoleh dan kemudian baru aku ingat. Dua hari yang lalu Pakde Gito menelponku dari desa, kalau anaknya yang paling bontot akan pindah sekolah ke Jakarta.
Tapi aku sedikit ragu juga, karena rasanya Nina dulu tak seperti ini. Memang aku tidak pangling dengan wajahnya yang lugu layaknya anak dari desa. Tapi rambut itu? Kenapa bisa seruwet dan sekacau jalanan di kota Jakarta, padahal dulu waktu aku sering berkunjung ke desa, rambutnya ggak keriing amat. Terus kenapa ia datang ke sini? Bukannya lebih baik ke rumah dulu? Tapi kayanya dia tak perlu menjawab pertanyaanku, karena kemudian papaku muncul dari balik pintu.
"Nina hanya ingin tahu sekolah barunya," Papa mengajak kami masuk ke kantor.
tapi beruntung kemudian bel tanda sekolah usai berbunyi membuatku bernafas lega karena terbebas dari bencana yang sudah di depan mata. Aku nggak bisa bayangkan bagaimana reaksi teman sekelasku kalau sampai mereka tahu aku membawa seorang yang pasti menurut mereka adalah orang aneh dan udik. Aku sih nggak setuju dengan semua itu jika benar terjadi. Tapi aku benar-benar belum siap menghadapinya hari ini, walaupun besok pasti akan datang. Setidaknya aku bisa mempersiapkan muka tebal buat besok. Tidak hari ini.
semalaman aku enggak bisa tidur karena memikirkan kejadian apa yang akan menyambutku besok di sekolah. Aku juga bingung apa yang akan aku katakan kalau teman-teman menanyakan kenapa ada keturunan keluargaku yang aneh begini. Terus apa lagi yang akan aku lakukan kalau teman-teman tiba-tiba ikut menjauhiku karena takut tertular penyakit kutuan dan ketombe. Aku merinding membayangkannya. tapi karena aku lelah berpikir akhirnya aku tertidur juga. Besok pagi aku masih berangkat ke sekolah.
Tapi rasanya hati ini tiba-tiba aku merasa pergi ke sekolah menjadi sangat mengerikan. Nasi goreng kesukaanku pun rasanya jadi ngalor ngidul tak karuan. Bayangan seram wajah-wajah yang tertawa mengejak sudah terbayang di kepalaku. Apakah aku harus meminta papa untuk mengembalikan Nina ke desa lagi? Tapi nggak mungkin! atau aku suruh saja Nina memotong rambutnya! Ah, itu malah tambah enggak mungkin! Kasihan Nina kalau harus melakukan itu, lagipula mau dipotong seberapa? Gundul? Tapi bagamana pun juga Nina adalah saudaraku. Sejelek apapun rambut dia tetaplah saudaraku yang merupakan ciptaan Tuhan.
Apalagi aku juga pernah menjadi sahabatnya waktu di desa dulu. Pernah suatu sore ketika kami habis mandi dari sungai di desa sebelah, kami diganggu oleh segerombolan anak-anak yang iseng. Mungkin karena aku orang dari kota, makanya mereka menggangguku. Tidak terima aku diganggu, Nina langsung menampar salah satu dari mereka. Aku terkejut, aku terpekik ketakutan. Nina tidak berhenti sampai disitu saja, kemudian ia menghajar satu persatu anak-anak nakal itu sampai akhirnya mereka lari terbirit-birit.
Aku semakin cemas waktu melihat Nina terkena pukulan sebuah ranting yang patah diwajahnya. Nina roboh ada darah dipipinya. Jantungku seakan berhenti berdetak. Namun sejurus kemudian ia bangkit lagi kali ini ia benar-benar marah. Dengan kemampuan terakhir yang dia andalkan, Nina membabat habis mereka.
Melihat situasi sudah aman aku keluar dari persembunyianku.
"Nina, engkau enggak apa-apa?" tanyaku cemas karena darah di pipinya semakin banyak keluar.
"Enggak, hanya luka kecil. Nanti juga sembuh," jawabnya enteng.
"Terimakasih, Nina, kamu begitu menderita membela aku." Aku memandangnya hru. Air mataku menetes.
“Sudahlah! Kita saudara dan teman
kan? Jadi aku wajib membelamu!” Nina
mengusap airmataku. Kami pulang dengan bergandengan tangan dan perasaan
menyatu.
“Asti! Ayo, nanti kita terlambat
lho!” Nina membuyarkan lamunanku. Aku mengambil tasku dan beranjak dari meja
makan, sarapanku tak ku sentuh sedikitpun. Nina sudah menunggu didepan pintu.
Tapi belum aku sampai mendekatinya, langkahku terhenti, tiba-tiba aku melihat
Nina tak seburuk yang kulihat kemarin meskipun rambut itu masih keriting. Ada
cahaya terang , yang baru aku lihat hari ini di wajah Nina, setelah semua
ingatan itu kembali mengunjungiku. Kebaikan memang mengalahkan segalanya.
Meskipun begitu aku masih tetap
cemas. Mungkin aku bisa bersikap biasa terhadap Nina. Tapi bagaimana dengan
teman-temanku? Bisa enggak mereka bersikap sama? Ini Jakarta, friend! Tak ada
tenggang rasa apalagi istilah inner
beauty. Disini yang ada Cuma gaul...gaul...dan gaul.
Degup jantungku semakin keras
ketika mobil Papa memasuki gerbang pintu sekolah. Perasaanku tak menentu.
Antara siap, takut, juga kasihan pada Nina. Dia pasti akan jadi tontonan
dikelas nanti, batinku. Kelas sepertinya sudah dimulai, karena aku tidak
melihat seorangpun diteras kelas. Aku tambah cemas, hatiku semakin berdetak
kencang, lebih kencang dari angin yang meniuo rambutku. Oh Tuhan! Beri aku
kekuatan.
Aku ketuk pintu tiga kali. Tak
ada jawaban. Sepertinya kelas belum mulai karena tak ku dengar suara Bu Mery
sedang mengajar di dalam. Aku masih menunggu beberapa saat. Tapi masih juga tak
ada jawaban. Akhirnya dengan tangan gemetar aku memberanikan diri untuk membuka
pintu itu. Sekali lagi aku menarik nafas mencoba mengumpulkan keberanian. Aku melangkah ke dalam kelas dengan mata
terpejam, aku tak kuasa jika harus melihat tatapan aneh yang akan tertuju
padaku dan Nina, dan mendengar suara-suara yang mengejek kami.
Tapi, setelah aku benar-benar ada
didalam kelas..... Lho... tak terjadi apa-apa? Tak ku dengar suara apapun yang
bernada mengejek ataupun bernada yang tak mengenakkan. Kemudian aku buka mata.
Aku seakan tak percaya dengan sedikitpun bahkan sedikit melotot. Kedua tanganku
menutup bibirku yang terbuka karena sking tak percayanya dengan apa yang
kulihat. Entah wabah apa yang menyerang temanku sehingga semua temanku berubah
secepat ini. Aneh! Kenapa dengan rambut mereka? Aku menjerit tertahan. Beberapa
kali aku mengucek mataku, mungkin aku salah lihat, pikirku. Tapi tidak! Aku
tidak salah lihat. Rambut mereka memang
benar berubah, berubah menjadi sangat keriting, aku menoleh ke arah Nina. Tak
kutemukan batang hidungnya. Tapi kemana dia, bukankah tadi dia dibelakangku? Aku
sedikit merinding, sekarang tinggal aku sendirian dan mereka masih menatapku,
tatapan mereka tajam dan dalam, seperti ingin melumatku bulat-bulat. Mereka
tidak senang dengan kedatanganku.
“Hey, siapa kamu?” Salah satu
temanku berdiri dan bertanya.
Aku terkejut dengan pertanyaanya.
Apakah aku salah masuk kelas? Atau...... tapi, tidak! Aku mengenali wajah
mereka walaupun rambut mereka berubah seperti itu. Tapi kenapa mereka tidak
mengenaliku? Aku bingung!
“Aku Asti teman kalian. Apa
kalian tak mengenaliku?” Aku balas bertanya.
“Teman? Dia mengerutkan dahi,”
Apa benar dia teman kita? Dia kemudian bertanya kepada teman lain.
“Tidak, kami tidak pernah merasa
punya teman seperti kamu!” yang lain menjawab serentak, membuat aku semakin
bingung, heran juga takut. Sebuah kertas yang dibuang menyerupai bola dilempar
ke arahku membuat aku kaget lagi.
“Ayolahh friend, jangan main-main
lagi!” pintaku memelas. Tapi mereka tak menggubris. Bahkan bola-bola kertas
berikutnya semakin banyak di lempar kearahku. Mulanya hanya beberapa orang saja
tapi kemudian bertambah hingga semua teman-teman yang ada dikelas melempariku
dengan bola kertas. Aku kalap, takut. Aku menjerit sekeras-kerasnya.
“Tidaaaaaaak!! Tidaaaaaaaak!!”
“Asti, Asti..... bangun, hey
bangun! Aku terkejut.
Mama membangunkanku karena
mendengar aku menjerit seperti orang yang melihat hantu. Keringat dingin
membasahi wajah dan badanku. Nafasku ngos-ngosan seperti habis marathon
berkilo-kilo. Wajahku pucat seperti mayat.
“Asti mimpi buruk Ma, Asti merasa
semua teman memusuhi Asti dan melempari Asti dengan bola kertas. Asti enggak
tahu kenapa mereka memusuhi Asti. Mereka....”belum selesai aaku bercerita
tiba-tiba aku teringat seseorang.
“Nina, Nina mana, Ma? Aku memandang
Mama. Mama diam tidak menjawab, Mama malah memandangku heran.
“Tidak, jangan katakan
kalau,.......” Aku menggelang, takut membayangkan sesuatu yang buruk telah terjadi.
Akhirnya mama bicara.
“Pagi tadi Mama minta tolong Nina membangunkan kamu untuk
sarapan. Tapi waktu dia tuun tiba-tiba minta diantar pulang ke desa. Mama engga
tahu kenapa. Dia juga tidak mengatakan sesuatu. Dia hanya minta maaf sama kamu.”
Aku langsung lemas mendengar Nina
sudah pulang ke desa. Nina sahabatku yang baik, yang dulu telah dengan gigih
mengajariku berenang di sunagi sampai aku bia. Nina yang selalu senang
mengambilkanku jambu walaupun terkadang dia harus digigit semut. Nina yang
telah merasakan sebuah ranting kering diwajahnya karena melindungiku. Dan
sekarang, aku telah melukai hatinya. Dia pasti membaca buku diariku yang lupa
aku tutup semalam. Penyesalan langsung menyergap batinku. Aku tidak pernah
menjadi sahabat terbaik baginya. Dengan angkuh aku justru menganggap dia
sebagai pembawa bencana, hanya karena gengsi di kelas.
Aku langsung bangun dari tempat
tidurku. Aku harus mencegahnya pulang ke desa. Aku harus minta maaf padanya,
tekadku dalam hati. Tapi belum beberapa langkah aku berjalan, kakiku menginjak
sesuatu di lantai. Kuangkat kaki kananku perlahan. Aku menunduk melihat benda
apa yang sudah kuinjak itu. Tidak jelas, lalu aku jongkok agar lebih jelas, dan
itu..... Sebuah bola kertas!!!?!?
lucu ya kalo baca cerpen jadul kita sendiri....
ReplyDeletethanks sobat sudah bersedia upload... saya kebetulan sedang mencari cerpen2 saya yang dimuat oleh kawanku... tapi baru nemu atu ini,
Makasih udah berkunjung, dan mohon ijin atas cerpennya.
ReplyDelete