Anak Kenangan
Kala itu Matahari belum juga jauh. Ketika tambakan pertama meledakkan kesenyapan di udara, gadis itu masih juga belum tidur. Namun tubuhnya sejak tadi mendekap bantal lusuh diatas tempat tidur.
Tak lama, ibunya menghambur ke kamar. Isak tangis wanita itu menyentakan si gadis.
"Ayahmu, Astika!"
Dan gadis bernama Astika itu surut dari tengkurap. Wajahnya tegang. namun, kelihatan betapa sorot matanya mencoba tak ingin yakin apa yang sedang ia cemaskan.
"Itukah?" Usap Astika tersendat.
Ibunya mengangguk. Namun kedua wanita itu tak berani keluar. Berondongan tembakan kian terdengar berhamburan. Seperti terasa ada suasana gaduh kanan kiri dinding rumah. Namun, sama sekali tak terdengar teriakan atau jeritan kepanikan.
Astika seperti memiliki kekuatan untuk berani mendekat ke pintu. Rambutnya yang panjang ia sibakan ke belakang sehingga tak menghalangi pandangannya.
"Jangan keluar, Tika!" hardik sang ibu khawatir.
Astika terdiam. Tangannya cuma menyentuh daun pintu.
"Hendak mau kemana kau?" Sentuh ibunya setengah teriak.
"Ingin melihat ayah untuk yang terakhir."
"Tak usah, tidak perlu. Ayah sudah baik, sudah diurus para tetangga."
Dalam kalimat yang terakhir ini Astika tak tahan terus bersikap tegar. Ia langsung memeluk ibunya. Ia benar-benar menyadari, bahwa dirinya sedang kehilangan . Melebihi kehilangan tubuh seorang ayah yang barang kali bagian dadanya tengah terobek peluru panas. Melebihi kehilangan kenangan yang ketika kecil senantiasa diperkaya oleh kasih sayang. Astika kehilangan suasana. Suasana seorang gadis yang belum seminggu yang lalu memasuki usia ke delapan belas. Suasana sebagai anak yang masih memiliki ayah, sirna seketika.
"Ayahmu tak tertolong. Ikhlaskan saja pada-Nya"
Bagi ibunya, Astika seperti sebuah peninggalan. Ia menjadi anak kenangan satu-satunya, dan seorang gadis yang cantik. Pertama kali Astika berani mengumpat Belanda di sebuah jalan raya. Dengan gagah, Astika memungut dua batu kecil di tepi jalan raya, dan dilemparkan sembari berteriak, "tentara tengik".
Dua Belanda itu menoreh terkejut. Namun demikian, tidak ada reaksi balasan. Tentara yang masih muda-muda itu malah menggeleng-gelengkan kepala sembari tertawa.
"Kau cantik, ha..ha......." seloroh salah seorang dari mereka. Astika kian sakit hati. Ia lantas lari, dan menangis di rumahnya.........................................
(Bagian awal cerpen Anak Kenangan, Karya Handry TM)
Sumber : Dasar-dasar ketrampilan menulis.
kesimpulannya apa?
ReplyDelete