Pada suatu malam, seorang pria yang baru selesai bekerja masuk ke dalam rumah. Dia dikejutkan dengan suara isak tangis anak laki-lakinya yang akan beranjak dewasa. suara itu berasal dari kamar sang anak laki-laki. Pria itu langsung masuk ke dalam kamar dan menemukan anaknya menangis tersedu-sedu.
"Mengapa kamu menangis? tanya sang ayah.
Setelah mengatur napasnya, sang anak laki-laki menjawab, "Tetangga kita, Kakek Ahmad meninggal dunia tadi pagi."
Sang ayah berdecak merendahkan. "Tua bangka itu telah mati? Ya sudah, biarkan saja dia mati, apa urusanmu sampai kau menangisinya? Dasar anak bodoh!" ujar sang ayah dengan suara tinggi, kemudian menyambung lagi, "Aku pikir sudah terjadi bencana di rumah ini hinga kau menangis. ternyata kau hanya menangisi kakek tua itu. Bisa-bisa setelah aku mati nanti, kamu tidak akan menangis seperti saat ini. Dasar anak dungu!"
Sang anak berlinang air mata sambil memberanikan diri menatap ayahnya dengan pandangan tidak percaya. Bagaimana bisa kata-kata itu keluar dari bibir ayahnya senidiri. "Iya ayah, kelak aku tidak akan menangisi kepergian ayah seperti aku menangisi kepergiannya.. Dialah yang menuntun tanganku untuk shalat subuh berjamaah dan shalat jum'at. Dialah yang membuatku sadar bahwa teman-teman bergaulku memberi pengaruh yang buruk. Dari dialah aku belajar membaca Al-Qur'an," ujar sang anak dengan air mata yang masih berlinang.
Anak laki-laki itu mengucapkan semua kata-katanya dengan halus, tanpa menaikan sedikitpun nada suaranya. "Sementara ayah, didikan apa yang telah ayah berikan padaku? Ayah memang ayahku secara biologis, tetapi Kakek Ahmad adalah ayah bagi keimananku. Hari ini aku menangisi kepergiannya karena dialah yang membuatku dekat dengan Allah SWT, lanjutnya dia sambil mengusap air mata yang tersisa.
Sebenarnya, hatinya terasa sakit mengucapkan semua itu, tapi itulah fakta yang dia rasakan selama ini. Saat itu, sang ayah diam. Ada rasa sakit dihatinya karena sang anak berani mengucapkan kata-kata itu. Tetapi sebuah fakta kadang lebih menyakitkan dibandingkan dengan sebuah kebohongan. Sang pria tahu bahwa apa yang dikatakan putranya adalah sebuah fakta. Benar bahwa dirinya selama ini tidak pernah mengajarkan amalan dan didikan tentang agama sebagaimana kewajiban orang tua pada anaknya. Pria itu akhirnya melelehkan air mata.
Bulir-bulir air itu menetes dipipinya. Dipeluknya anak laki-laki itu yang dia tidak sadari sudah lebih tinggi dan semakin dewasa. Dulu putranya masih begitu kecil, sekarang tinggi mereka sudah hampir sama. Dielusnya puncak kepala putranya, "Maafkan ayah" sejak malam itu, sang pria berjanji akan menjadi ayah yang baik.
Tidak hanya mencukupi materi, tetapi juga mencukupi kebutuhan sang anak akan keimanandan ketaqwaan pada Allah SWT. Dia tidak pernah lagi meninggalkan Salat Wajib dan Shalat Jum'at. Sekarang sang ayah sudah bisa menjadi ayah sejati untuk anak dan keluarganya.
Cerita yang menyentuh. Sedikit menyadarkan saya betapa pentingnya didikan iman untuk anak.
ReplyDeleteMudah-mudahan saya bisa melakukannya nanti. Amiin. Saya ga mau kalau sampai anak saya ngatain seperti itu
betul sekali mas putra, semoga anak kita menjadi anak-anak yg soleh dan solehah yah!
DeleteSaya terharu pak.. selama ini merasa kurang deket dengan anak saya yang semakin dewasa, semoga setelah ini saya bisa lebih perhatian sama anak-anak aya agar tidak menyesal di kemudian hari. Terimakasih sharingnya pak...
ReplyDeletesama-sama mas Maman, semoga bisa menjadi koreksi para ortu agar tdk terlalu sibuk dg pekerjaan kita
DeleteAmin.. iya betul pak, jangan sampai kita lupa bahwa kita bekerja untuk anak-anak kita..
DeleteSedih pak bacanya, semoga kita bisa menjadi ayah yang mampu menuntun anak-anak kita ke jalan yang benar.
ReplyDeleteSemoga saja, saya kadang juga seperti itu, mudah2an saya bisa menjadi anak yg sesuai dg harapan anak
Delete