Setiap orang tua pastilah memiliki trik sendiri-sendiri dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya di rumah. Ada yang mendidik anak dengan cara yang lembut ada juga orang tua yang mendidik anak dengan cara yang sangat disiplin atau keras.
Mengasuh anak dengan aturan yang terlalu ketat bisa memberi dampak yang buru. Ada sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa pola asuh orang tua yang terlalu ketat atau banyak aturan bisa membuat anak jadi gampang berbohong. Seperti yang dilansir oleh lifehack.org,pakar tumbuh kembang anak, Victoria Talwar menyebutkan pola asuh orang tua yang sangat ketat bisa memberi efek pada cara anak memberi respon dan cara mereka memanfaatkan orang lain, khususnya orang tuanya sendiri.
Victoria memfokuskan pada pola perilaku kognitif anak di McGill University. Dia memaparkan ketika anak-anak dihadapkan pada aturan-aturan yang ketat maka mereka juga dihadapkan pada hukuman yang berat. Karena takut dengan hukuman atau konsekuensi yang berat itu, mereka kemudian berusaha untuk melakukan berbagai cara agar bisa lolos dari hukuman tersebut.
Pengujian dalam "Peeping Game"
Sebuah pengujian yang disebut "Peeping Game" dilakukan untuk menguji teori tersebut. Jadi di sebuah ruangan, ada sejumlah benda yang ditaruh di belakang anak. Benda-benda tersebut mengeluarkan suara dan benda terakhir mengeluarkan suara yang aneh dan sulit ditebak benda apa itu. Artinya anak-anak baru bisa mengetahui benda terakhir tersebut dengan mengintip (peeping) ke belakang.
Para orang dewasa kemudian meninggalkan ruangan itu. Anak-anak berada di dalam ruangan dengan benda itu sendirian. Kemudian, anak ditanya soal benda tersebut dan ditanya apakah mereka mengintip atau tidak. Hasilnya anak-anak yang punya orang tua yang ketat lebih lihai menjadi pembohong saat disuruh menceritakan kebenarannya.
Berbohong Tak Selalu Didasari dengan Niat Buruk
Tak selamanya anak yang berbohong itu buruk. Bahkan, bisa jadi saat berbohong itu, anak-anak sedang mengembangkan kemampuan psikologisnya. Dalam kasus "peeping game" di atas, anak secara sadar melakukan kebohongan karena ada faktor luarnya. Jika anak bisa membedakan kebohongan dan kejujuran dengan benar, itu artinya mereka bisa membedakan antara fakta dan fiksi. Hanya saja jika "bakat" berbohong itu digunakan setiap saat maka hal ini bisa jadi cukup problematis.
Anak-Anak dan Kemampuan Kognitif
Kemampuan kognitif anak bisa diamati dari pengalaman ini. Kemampuan anak dalam melakukan sebuah kebohongan umumnya berkaitan dengan kemampuan pikirannya dan tingkat perkembangan kognitifnya. Anak-anak bisa memperlihatkan tanda berpikir "out of the box" karena kelihaian menipu yang kreatif dan bisa jadi tanda dirinya memiliki daya ingat yang sangat bagus.
Di McGill University, Victoria dan timnya meneliti perilaku anak-anak berdasarkan model pembentukan kemampuan berbohong. Mereka mengungkapkan bahwa anak-anak yang berusia sekitar dua tahun bisa mengungkapkan kebohongan "primer" untuk menutupi kesalahan yang diperbuat tapi tak berkaitan langsung dengan orang tua atau reaksi yang ditimbulkan dari perilaku orang tuanya.
Anak-anak di usia empat tahun sudah mulai bisa membuat kebohongan "sekunder". Kebohongan ini bisa lebih disesuaikan dengan kondisi dan situasi pribadi yang dihadapi. Sementara kebohongan "tertier" bisa dilakukan oleh anak berusia tujuh tahun. Kebohongan ini lebih terintegrasi dengan fakta/kebenaran sehingga jadi lebih meyakinkan.
Saat orang tua mengasuh dengan aturan yang terlalu ketat dan hukuman yang terlalu berat, ada kemungkinan anak akan melakukan berbagai cara agar merasa aman. Berbohong dan memanipulasi akan dilakukannya. Meski anak yang berbohong tak selalu buruk tapi perlu selalu diberi pemahaman dan dipastikan tumbuh kembangnya bisa tetap berjalan dengan optimal.
Source: Vemale.com