Thursday, April 25, 2013

Contoh cerpen "Tamasya ke Masa Silam




Liburan kali ini mungkin yang paling menarik dalam hidupku. Bapak akan mengajakku berkunjung ke desa kelahirannya. Aku menyebutnya "Tamasya ke Masa Silam". Sebab, kata Bapak, aku akan diajak ke tempat-tempat semasa Bapak kecil dulu.
Bapakku berasal dari sebuah desa kecil di pedalaman Purworejo. Desa Tambak Lor namanya. Untuk mencapai desa itu, kami harus naik bus jurusan Purworejo. Kemudian, naik angkot sampai Pantok. Disambung naik dokar melewati perkampungan sepanjang kira-kira tiga kilometer. Lalu dilanjutkan jalan kaki melewati pematang dan bukit-bukit kecil sepanjang dua kilometer.
"Kamu lelah, Rif?" tanya Bapak saat menyusuri pematang sepanjang tepian sungai yang jernih. Tangan bapak yang kokoh memanggul tas kulit berisi oleh-oleh untuk Nenek. 
"Lumayan lelah," kataku sambil menyeka keringat di dahiku. Tetapi aku menyukai perjalanan ini. Baru kali ini Bapak mengajakku sendiri tanpa Ibu.

"Lihatlah ikan-ikan itu. Bapak dulu sering memasang 'wuwu' untuk menangkapnya," tunjuk Bapak pada beberapa ikan yang berlarian di sepanjang air sungai. 
"Apa itu wuwu?" tanyaku tidak mengerti. "Wuwu itu alat penangkap ikan tradaisional yang terbuat dari anyaman bambu. Mulutnya lebar, namun makin ke dalam makin menyempit. Kalau ikan masuk ke dalamnya, tidak bisa keluar lagi karena terhalang bagian yang runcing di pintu masuknya."
Dahiku berkerut mendengar keterangan Bapak. "Aku tidak bisa membayangkan," sahutku pendek. 
"Nanti kamu akan tahu bentuknya. Paman punya banyak di rumah.
Kami menyusuri sepanjang pematang sawah. orang-orang yang berpapasan menyapa kami ramah. Perjalanan kami sering terhenti karena harus bercakap-cakap dengan mereka.
Setelah kami menyebrangi jembatan, tibalah kami di rumah besar berhalaman luas. Ada pohon rambutan dan sawo di halaman itu. Seorang perempuan tua keluar begitu Bapak mengetuk pintu. Matanya terlihat bersinar cerah. Wajah keriputnya berhiaskan senyum lebar. Dialah neneku. Nenek merangkulku erat. 
"Dimana ibumu? Kenapa tidak ikut?" tanyanya.
"Dia tidak bisa  cuti dari kantor," ujar Bapak.
Sesaat kemudian muncul Paman, Bibi, dan Anto, anak Paman yang sebaya denganku. Setelah makan siang dan beristirahat sejenak, aku lalu bermain dengan Anto dan kawan-kawanku.
Ada beberapa permainan khas desa itu yang tak kumengerti. Seperti, permainan gangsing, wayang orang, dan yang lain. 
"Kata Bapakku, dulu bapakmu sering jadi Gatotkaca. Dan bappakmu menjadi Antasena," kata Anto. Jari-jarinya yang kecil memasukan lidi ke daun nangka kering. Aku mencoba meniru gerakan Anto. Beberapa teman yang lain membuat keris pusaka dengan daun pohon kelapa. Kami lalu bermain wayang dibawah pohon rindang diatas hamparan rerumputan.
Sedang asyiknya kami bermain wayang, Paman datang menghampiri kami. Ia menenteng beberapa ekor ikan. Disebelahnya ada seorang laki-laki tua yang lalu menyapaku ramah. 
"Ini ya, anak Haryono?" tanya laki-laki tua itu kepada Paman. 
"Kakek siapa?" tanyaku ingin tahu. Kakek iu tertawa lepas.
"Kakek yang dulu sering membetulkan sepatu Bapakmu waktu ia kecil, "jawabnya ramah. 
"Kakek kromo?" tanyaku. Bapakku memang sering bercerita tentang keadaan kampung halamannya, juga tentang orang-orang yang berjasa dalam kehidupannya. Salah satunya adalah Pak Kromo, tukang sepatu. 
"Ah, jadi bapakmu sering membicarakan aku, ya?" tanya Pak Kromo.
Aku mengangguk.
"Mengapa kakek Kromo tidak bekerja sebagai tukang sepatu lagi?" tanyaku ingin tahu. 
"Kakek sudah tua. Meskipun tubuh Kakek kuat, tetapi mata Kakek sudah mulai rabun."
"Mengapa idak pakai kacamata?" tanyaku lagi.
Kakek itu tertawa lebar, "Kakek tidak punya uang untuk membelinya. Jadi kakek beralih profesi saja. Menagkap ikan di sungai seperti pamanmu. Tapi kakek juga tidak pernah mendapatkan banyak," lanjutnya sambil menoleh kepada Paman.
"Kalian berhenti main dulu, ya. Ayo bantu Paman membersihkan ikan," potong Paman sambil melangkah duluan. 
Liburan tak terasa berlalu begitu cepat. Hari-hari yang selalu diisi dengan cerita masa kanak-kanak Bapak, tiba-tiba sudah selesai. Aku dan Bapak harus cepat kembali, Nenek, Paman, Bibi, dan Anto mengantar sampai pintu pagar. Ada rasa sepi yang merasuki perasaanku.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku segera berbisik ke telinga Bapak. Kulihat dahi Bapak berkerut. Bapak lalu tersenyum lebar. Lalu dari saku celananya Bapak mengeluarkan beberapa lembar uang. Bapak memberikan uang itu kepada Paman sambil berkata perlahan, "Tolong berikan ini kepada Pak Kromo untuk membeli kacamata supaya Pak Kromo bisa memperbaiki sepatu lagi."
Paman tertawa lebar sambil mencubit pipiku. Matahari begitu cerah mengantar kepulangan kami.

Sumber : Tamasya ke Masa Silam, 2006

1 comment:

Silahkan berkomentar dengan baik & Relevan dengan conten Artikel, Dilarang menyisipkan Link Hidup. jika Teks url blog/web atau isi di daftar tamu itu diperbolehkan, Terima kasih.