Hari Selasa, jam pelajaran berakhir pukul 12.50, langit mendung, angin mulai bertiup kencang, Bergegas aku keluar kelas diikuti Rendy, Yaya, dan Wanda. Setengah berlari, kami berebut menuju gerbang sekolah.
"Lewat jalan biasa,Gi?" Tanya Rendy begitu kami ke luar gerbang.
"ewat SD Gerlong aja, iya,Ya" jawabanku sambil minta penguatan dari Yaya,
Akhirnya kami sepakat menempuh perjalanan pulang lewat SD Gerlong, berjalan kaki.
Butir-butir air hujan mulai berjatuhan ketika kami melewati Masjid At-Taqwa. Baru beberapa langkah, hujan mulai turun, semakin lama semakin deras. Akhirnya kami memutuskan untuk berteduh begitu berada di sepan warung mandala, persis samping SD Gerlong.
Baju kami basah kuyup, begitu juga tas dan Sepatu, kami minta izin kepada pemilik warung untuk ikut berteduh. Dibawah tenda plastik kami berdiri berjejer. Ada empat orang siswa Al Inayah yang sudah lebih dulu berteduh disana. Diantara kami, berteduh pula seorang ibu muda. Dia tampak kedinginan sama seperti kami. Tas plastik yang dijinjingnya didekapnya erat.
Seperempat jam kemudian, muncul seorang lelaki mengendarai sepeda motor hujan masih turun deras sekali. Rupanya lelaki itu yang menjemput ibu muda yang sama berteduh dengan kami.
Berlindung dibawah jas hujan yang dibawa pengendara motor itu, ibu muda itu pun meninggalkan warung mandala.
Setelah sesaat motor berlalu, kulihat sebuah dompet berwarna cokelat tergeletak disampingku. Rupanya Yaya melihat pula dompet itu. Kulirik Rendy, rupanya dia juga tahu. Dengan isyarat mata, kami memutuskan untuk segera pergi dari situ. Yaya melompat keluar, Rendy menarik tangan Wanda, aku mengikuti sambil berjongok memungut dompet itu dan lari sekencang-kencangnya. Lewat sudut mata kulihat anak-anak Al Inayah menatap kami.
Di rumahku, kami mengeringkan badan, Rendy, Wanda dan Yaya memakai bajuku. setelah makan kami mengunci pintu kamar. Berbisik-bisik kami membicarakan pengalaman tadi dan sepakat membuka isi dompet itu. Sebuah HP nokia berwarna silver dan uang satu juta lima puluh ribu rupiah, itulah isi dompet itu.
"Wow," seru Yaya tertahan.
"Duitnya banyak banget, Bro" kata Wanda sambil berdecak.
"Gimana? kita bagi aja? tanyaku tak sabar.
"Eh, jangan dulu! Jangan main bagi-bagi aja! Ini bukan milik kita, gimana kalian ini?" cegah Rendy tak kuduga. Aku tak menyangka Rendy akan mencegah kamimembagikan uang itu. Atau barangkali dia pura-pura melarang hanya untuk menggoda kami, padahal dia sendiri sebenarnya senang juga kalau dibagi?
"emang kenapa?" tanya Yaya.
"Lihatlah ada KTP nggak?" tanya Rendy.
Di sebuah saku dompet dibagian dalam kami temukan sebuah KTP. Pemiliknya Ibu Mulyati. alamatnya di jalan Abadi II nomor 35, dekat dengan sekolah kami dan warung mandala tempat kami berteduh tadi.
"Orang dekat, sebaiknya kita kembalikan!" kata Rendy.
"Iiih kamu apa-apaan sih pake dikembalikan segala?" tanya Wanda nampak tak setuju.
"Begiin aja!" usul Yahya.
"Iya, bagiin aja!" Kataku pasti. Dalam hati aku berpikir, untuk apa mengembalikan ini semua, kan aku bukan mencuri tapi menemukan, kalau orang lain yang menemukan juga belum tentu mengebalikan.
"Nggak,ah! Aku nggak ikut-ikut, kalau mau dibagikan, kalian aja, aku nggak mau!" tegas Rendy tetap pada keputusannya.
Melihat Rendy begitu, aku jadi bingung. Kenapa sih Rendy ini? Bukankah ini sama saja dengan dapat rejeki nomplok? Karena harus dikembalikan? Bukankah tak ada yang tahu apa yang kami alami ini? Bukankah tak ada yang melihat aku memungut dompet itu? Atau ...... anak Al Inayah, apakah mereka melihat aku memungut dompet itu? Aku jadi takut juga kalau-kalau anak Al Inayah melihat perbuatanku.
Karena belum tercapai kesamaan pendapat,akhirnya kami sepakat dompet uang dan HP itu aku simpan dulu.
Keesokan harinya di Sekolah, kami melanjutkan perundingan dengan diam-diam. Aku, Wanda, dan Yaya memutuskan untuk membagikan saja hasil temuan itu, uangnya dibagi empat, HP-nya kami sepakati dijual dulu lalu hasil penjualannya dibagi empat juga. Sementara Rendy tetap pada keinginannya untuk mengembalikan saja hasil temuan itu, karena satu lawan tiga akhirnya Rendy menyetujui keputusan kami tetapi dia tetep tidak mau dapat bagian.
"kalau begitu, kita bagi tiga saja" kataku kegirangan. Kemudian dalam hati kususun rencana penggunaan uang rejeki nomplok itu, "Asyik, aku bisa beli apa aja yang aku mau," seruku dalam hati.
"Tapi kamu harus janji nggak biilang siapa-siapa soal ini ya, Ren? Kata Wanda penuh kehawatiran. Aku jadi sadar. Iya juga, benar kata Wanda, Rendy harus jaga rahasia, kalau tidak, kami bisa celaka.
"Beres nyantai aja! aku nggak akan bilang siapa-siapa, suweer!" katanya sambil mengacungkan dua jari kanannya.
Setelah habis jam istirahat, pelajaran selanjutnya adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Bu Sekar masuk ke kelas kami. setelah menjawab salam, Bu Sekar menyuruh kami melanjutkan berburu bahan untuk penulisan karya tulis. Kami disuruh mencari buku sumber di perpustakaan. Ketika kami siap keluar kelas, Bu Sekar memanggil aku, Yaya, Wanda dan Rendy.
kami benar-benar merasa kaget, "Kok bisa?" pikirku, "Yang dipanggil yang menemukan dompet kemarin," gumamu dalam hati. "Atau, cuma kebetulan aja? Ada apa ya? Bu sekar seperti sengaja menjauhkan teman-teman sekelas dari kami agar kami tinggal berempat," celotehku terus dalam hati, "Atau, aku terlalu paranoid karena telah melakukan............... ah!" walau kucoba untuk tenang, aku deg-degan juga.
"Ambil kursi! Kalian duduk disini!" kata Bu Sekar menyuruh kami duduk di tepat depan mejanya. Sementara teman-teman yang lain bergerombol menuju ruang perpustakaan. Suasana kelas kini menjadi sepi.
"Ada apa Bu?" tnyaku memberanikan diri.
"Yogi, Rendy, Yaya dan Wanda, kemarin pulang sama-sama ya?" Bu Sekar memulai pembicaraan.
"Iya, Bu!" jawab kami serempak.
"Kehujanan,ya?" lanjutnya, "Berteduh diwarung Mandala, ya?" kejarnya lagi.
Kami saling berpandangan dalam kebingungan. Bagaimana Bu Sekar bisa tahu? Sebagai pembina OSIS, Bu Sekar sering membuat kejutan sepertinya dia selalu tahu tentang kegiatan kami. Waktu si Heru membawa majalah playboy, Bu Sekar tahu dan langsung merampasnya. Waktu si Hilmi membawa obat batuk berwarna pink yang katanya mengandung narkoba, Bu Sekar tahu dan langsung merampasnya, waktu sore-sore si Angga pacaran sama si Desi di bawah tangga, besoknya Bu Sekar memanggil keduanya, dan seperti biasa, setiap ada siswa yang dianggap bermasalah, setelah menangani siswa tersebut, Bu Sekar akan memanggil orang tua siswa untuk membicarakannya. Aneh, bagaimana Bu Sekar bisa selalu tahu?
kami masih diam ketika Bu Sekar melanjutkan pertanyaan, "Di antara kamu, siapa yang menemukan dompet cokelat berisi HP, dan uang?"
"Dug!" aku merasa jantungku mau copot, dadaku serasa ditonjok, sakit sekali.
"Yogi?" tanyanya sambil memandangku. Pandangan matanya sebenarnya lembut, tidak ada ekspresi marah atau menuduh, atpi duh, justru sikapnya seperti itu membuat aku tidak bisa berbohong. Rasanya ingin langsung mengakui saja apa yang kulakukan. Gaya Bu Sekar dalam menangani masalah selalu membuat kami jadi malu untuk tidak jujur.
Kupandangi Yaya, Wanda, dan Rendy satu per satu. Bu Sekar seolah memberi kesempatan pada kami untuk berpikir sejenak sebelum menentukan sikap. Aku masih bingung mau menjawab apa.
"Bagaimana, sudah siap bercerita?" tanya BU Sekar memecahkan keheningan yang tercipta hanya sesaat itu.
"Iya, Bu, begini......," Rendy mencoba bicara.
"kalian nggak usah takut, kalian nggak salah kok, kalian bukan pencuri. Kalian kan cuma menemukan!" potong BU Sekar.
"Ya, Tuhan." jeritku dalam hati. "Bagaimana Bu Sekar bisa tahu segalanya?"
"Jadi, siapa yang memungutnya?" tanya Bu Sekar lagi.
"Saya Bu!" akhirnya aku tak kuat lagimenahan diri. Kuambil keputusan tanpa kompromi duu dengan ketiga temanku ini. Dalam sekejap aku memutuskan untuk tidak usah menyimpan semua ini. Dalam sekejap aku tidak peduli lagi dengan uang rejeki nomplok yang sudah kubayangkan akan kupakai bersenang-senang. Dalam sekejap aku mengubah keputusanku yang selama ini bertentangan dengan Rendy. Sekarang aku malah melakukan saran Rendy. Aku bermaksud mengembalikan dompet beserta isinya yang kutemukan itu.
"Masih ada?" tanya Bu Sekar lagi. Pertanyaan Bu Sekar selalu singkat-singkat tetapi mengandung makna yang banyak. Aku menyukai caranya ini. Tidak banyak bicara, tidak banyak cerita, juga tidak meminta kami untuk banyak bercerita. Semua seolah sudah disimpulkan dan kesimpulannya benar.
"Yang mengembalikan biar ibu saja, kapan? Sekarang dibawa tidak?" tanya Bu Sekar kemudian.
"Tidak dibawa, Bu. Nanti sore saya antarkan ke rumah Ibu," kataku sambil melirik Yaya meminta maaf melalui isyarat mata kerena tidak jadi membagi uang itu. Kulihat Yaya mengerti, begitu juga Wanda. Aku yakin, Rendy lebih senang lagi.
Belakangan aku tahu mengapa Bu Sekar mengetahui kejadian itu. Rupanya pengendara motor kemarin menemui Bu Sekar menceritakan kejadiannya dengan membawa anak Al Inayah yang melihat aku memungut dompet itu. Anak itu memang sering berpapasan denganku pantas saja dia hafal padaku begitu juga aku. Aku hapal wajahnya hanya tidak tahu namanya. Tempat tinggal kami memang berdekatan.
"Nggak jadi deh, dapat rejeki nomplok!" kata Wanda waktu kami berjalan beriringan melewati warung mandala di samping SD Gerlong.
"tapi, hati kita tenteram dan nyaman,kan?" kata rendy senang.
"kata Bu Sekar, kita orang-orang hebat karena bisa bersikap jujur, asyik juga ya! Dapat pujian dari Bu Sekar!" kata Yaya dengan bangga.
Aku diam saja sambil senyum-senyum kecil. Masih terngiang ditelingaku perkataan Bu Sekar, "berat ya, cobaan kalau mau bersikap jujur! Hati kecil ingin mengembalikan, hati besar ingin menggunakan. tapi kalau dimulai dari sekarang berjuang mempertahankan kejujuran, insya Allah sampai tua, sampai kapanpun kamu akan jadi orang yang jujur. Enak lho, jadi orang yang jujur, ringan, nyaman, tanpa beban, dan selalu selamat karena selalu dalam lindungan Tuhan."
Perkataan Bu Sekar benar sekali. Waktu perundingan, hatiku juga bimbang. Ingin mengembalikan, tapi juga ingin menggunakan. Syukurlah, semua sudah lewat kami berhasil berjuang mempertahankan kejujuran. Semoga selamanya kami menjadi orang yang jujur agar hidup selalu tenteram, damai tanpa beban dosa. Amin.
Seperempat jam kemudian, muncul seorang lelaki mengendarai sepeda motor hujan masih turun deras sekali. Rupanya lelaki itu yang menjemput ibu muda yang sama berteduh dengan kami.
Berlindung dibawah jas hujan yang dibawa pengendara motor itu, ibu muda itu pun meninggalkan warung mandala.
Setelah sesaat motor berlalu, kulihat sebuah dompet berwarna cokelat tergeletak disampingku. Rupanya Yaya melihat pula dompet itu. Kulirik Rendy, rupanya dia juga tahu. Dengan isyarat mata, kami memutuskan untuk segera pergi dari situ. Yaya melompat keluar, Rendy menarik tangan Wanda, aku mengikuti sambil berjongok memungut dompet itu dan lari sekencang-kencangnya. Lewat sudut mata kulihat anak-anak Al Inayah menatap kami.
Di rumahku, kami mengeringkan badan, Rendy, Wanda dan Yaya memakai bajuku. setelah makan kami mengunci pintu kamar. Berbisik-bisik kami membicarakan pengalaman tadi dan sepakat membuka isi dompet itu. Sebuah HP nokia berwarna silver dan uang satu juta lima puluh ribu rupiah, itulah isi dompet itu.
"Wow," seru Yaya tertahan.
"Duitnya banyak banget, Bro" kata Wanda sambil berdecak.
"Gimana? kita bagi aja? tanyaku tak sabar.
"Eh, jangan dulu! Jangan main bagi-bagi aja! Ini bukan milik kita, gimana kalian ini?" cegah Rendy tak kuduga. Aku tak menyangka Rendy akan mencegah kamimembagikan uang itu. Atau barangkali dia pura-pura melarang hanya untuk menggoda kami, padahal dia sendiri sebenarnya senang juga kalau dibagi?
"emang kenapa?" tanya Yaya.
"Lihatlah ada KTP nggak?" tanya Rendy.
Di sebuah saku dompet dibagian dalam kami temukan sebuah KTP. Pemiliknya Ibu Mulyati. alamatnya di jalan Abadi II nomor 35, dekat dengan sekolah kami dan warung mandala tempat kami berteduh tadi.
"Orang dekat, sebaiknya kita kembalikan!" kata Rendy.
"Iiih kamu apa-apaan sih pake dikembalikan segala?" tanya Wanda nampak tak setuju.
"Begiin aja!" usul Yahya.
"Iya, bagiin aja!" Kataku pasti. Dalam hati aku berpikir, untuk apa mengembalikan ini semua, kan aku bukan mencuri tapi menemukan, kalau orang lain yang menemukan juga belum tentu mengebalikan.
"Nggak,ah! Aku nggak ikut-ikut, kalau mau dibagikan, kalian aja, aku nggak mau!" tegas Rendy tetap pada keputusannya.
Melihat Rendy begitu, aku jadi bingung. Kenapa sih Rendy ini? Bukankah ini sama saja dengan dapat rejeki nomplok? Karena harus dikembalikan? Bukankah tak ada yang tahu apa yang kami alami ini? Bukankah tak ada yang melihat aku memungut dompet itu? Atau ...... anak Al Inayah, apakah mereka melihat aku memungut dompet itu? Aku jadi takut juga kalau-kalau anak Al Inayah melihat perbuatanku.
Karena belum tercapai kesamaan pendapat,akhirnya kami sepakat dompet uang dan HP itu aku simpan dulu.
Keesokan harinya di Sekolah, kami melanjutkan perundingan dengan diam-diam. Aku, Wanda, dan Yaya memutuskan untuk membagikan saja hasil temuan itu, uangnya dibagi empat, HP-nya kami sepakati dijual dulu lalu hasil penjualannya dibagi empat juga. Sementara Rendy tetap pada keinginannya untuk mengembalikan saja hasil temuan itu, karena satu lawan tiga akhirnya Rendy menyetujui keputusan kami tetapi dia tetep tidak mau dapat bagian.
"kalau begitu, kita bagi tiga saja" kataku kegirangan. Kemudian dalam hati kususun rencana penggunaan uang rejeki nomplok itu, "Asyik, aku bisa beli apa aja yang aku mau," seruku dalam hati.
"Tapi kamu harus janji nggak biilang siapa-siapa soal ini ya, Ren? Kata Wanda penuh kehawatiran. Aku jadi sadar. Iya juga, benar kata Wanda, Rendy harus jaga rahasia, kalau tidak, kami bisa celaka.
"Beres nyantai aja! aku nggak akan bilang siapa-siapa, suweer!" katanya sambil mengacungkan dua jari kanannya.
Setelah habis jam istirahat, pelajaran selanjutnya adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Bu Sekar masuk ke kelas kami. setelah menjawab salam, Bu Sekar menyuruh kami melanjutkan berburu bahan untuk penulisan karya tulis. Kami disuruh mencari buku sumber di perpustakaan. Ketika kami siap keluar kelas, Bu Sekar memanggil aku, Yaya, Wanda dan Rendy.
kami benar-benar merasa kaget, "Kok bisa?" pikirku, "Yang dipanggil yang menemukan dompet kemarin," gumamu dalam hati. "Atau, cuma kebetulan aja? Ada apa ya? Bu sekar seperti sengaja menjauhkan teman-teman sekelas dari kami agar kami tinggal berempat," celotehku terus dalam hati, "Atau, aku terlalu paranoid karena telah melakukan............... ah!" walau kucoba untuk tenang, aku deg-degan juga.
"Ambil kursi! Kalian duduk disini!" kata Bu Sekar menyuruh kami duduk di tepat depan mejanya. Sementara teman-teman yang lain bergerombol menuju ruang perpustakaan. Suasana kelas kini menjadi sepi.
"Ada apa Bu?" tnyaku memberanikan diri.
"Yogi, Rendy, Yaya dan Wanda, kemarin pulang sama-sama ya?" Bu Sekar memulai pembicaraan.
"Iya, Bu!" jawab kami serempak.
"Kehujanan,ya?" lanjutnya, "Berteduh diwarung Mandala, ya?" kejarnya lagi.
Kami saling berpandangan dalam kebingungan. Bagaimana Bu Sekar bisa tahu? Sebagai pembina OSIS, Bu Sekar sering membuat kejutan sepertinya dia selalu tahu tentang kegiatan kami. Waktu si Heru membawa majalah playboy, Bu Sekar tahu dan langsung merampasnya. Waktu si Hilmi membawa obat batuk berwarna pink yang katanya mengandung narkoba, Bu Sekar tahu dan langsung merampasnya, waktu sore-sore si Angga pacaran sama si Desi di bawah tangga, besoknya Bu Sekar memanggil keduanya, dan seperti biasa, setiap ada siswa yang dianggap bermasalah, setelah menangani siswa tersebut, Bu Sekar akan memanggil orang tua siswa untuk membicarakannya. Aneh, bagaimana Bu Sekar bisa selalu tahu?
kami masih diam ketika Bu Sekar melanjutkan pertanyaan, "Di antara kamu, siapa yang menemukan dompet cokelat berisi HP, dan uang?"
"Dug!" aku merasa jantungku mau copot, dadaku serasa ditonjok, sakit sekali.
"Yogi?" tanyanya sambil memandangku. Pandangan matanya sebenarnya lembut, tidak ada ekspresi marah atau menuduh, atpi duh, justru sikapnya seperti itu membuat aku tidak bisa berbohong. Rasanya ingin langsung mengakui saja apa yang kulakukan. Gaya Bu Sekar dalam menangani masalah selalu membuat kami jadi malu untuk tidak jujur.
Kupandangi Yaya, Wanda, dan Rendy satu per satu. Bu Sekar seolah memberi kesempatan pada kami untuk berpikir sejenak sebelum menentukan sikap. Aku masih bingung mau menjawab apa.
"Bagaimana, sudah siap bercerita?" tanya BU Sekar memecahkan keheningan yang tercipta hanya sesaat itu.
"Iya, Bu, begini......," Rendy mencoba bicara.
"kalian nggak usah takut, kalian nggak salah kok, kalian bukan pencuri. Kalian kan cuma menemukan!" potong BU Sekar.
"Ya, Tuhan." jeritku dalam hati. "Bagaimana Bu Sekar bisa tahu segalanya?"
"Jadi, siapa yang memungutnya?" tanya Bu Sekar lagi.
"Saya Bu!" akhirnya aku tak kuat lagimenahan diri. Kuambil keputusan tanpa kompromi duu dengan ketiga temanku ini. Dalam sekejap aku memutuskan untuk tidak usah menyimpan semua ini. Dalam sekejap aku tidak peduli lagi dengan uang rejeki nomplok yang sudah kubayangkan akan kupakai bersenang-senang. Dalam sekejap aku mengubah keputusanku yang selama ini bertentangan dengan Rendy. Sekarang aku malah melakukan saran Rendy. Aku bermaksud mengembalikan dompet beserta isinya yang kutemukan itu.
"Masih ada?" tanya Bu Sekar lagi. Pertanyaan Bu Sekar selalu singkat-singkat tetapi mengandung makna yang banyak. Aku menyukai caranya ini. Tidak banyak bicara, tidak banyak cerita, juga tidak meminta kami untuk banyak bercerita. Semua seolah sudah disimpulkan dan kesimpulannya benar.
"Yang mengembalikan biar ibu saja, kapan? Sekarang dibawa tidak?" tanya Bu Sekar kemudian.
"Tidak dibawa, Bu. Nanti sore saya antarkan ke rumah Ibu," kataku sambil melirik Yaya meminta maaf melalui isyarat mata kerena tidak jadi membagi uang itu. Kulihat Yaya mengerti, begitu juga Wanda. Aku yakin, Rendy lebih senang lagi.
Belakangan aku tahu mengapa Bu Sekar mengetahui kejadian itu. Rupanya pengendara motor kemarin menemui Bu Sekar menceritakan kejadiannya dengan membawa anak Al Inayah yang melihat aku memungut dompet itu. Anak itu memang sering berpapasan denganku pantas saja dia hafal padaku begitu juga aku. Aku hapal wajahnya hanya tidak tahu namanya. Tempat tinggal kami memang berdekatan.
"Nggak jadi deh, dapat rejeki nomplok!" kata Wanda waktu kami berjalan beriringan melewati warung mandala di samping SD Gerlong.
"tapi, hati kita tenteram dan nyaman,kan?" kata rendy senang.
"kata Bu Sekar, kita orang-orang hebat karena bisa bersikap jujur, asyik juga ya! Dapat pujian dari Bu Sekar!" kata Yaya dengan bangga.
Aku diam saja sambil senyum-senyum kecil. Masih terngiang ditelingaku perkataan Bu Sekar, "berat ya, cobaan kalau mau bersikap jujur! Hati kecil ingin mengembalikan, hati besar ingin menggunakan. tapi kalau dimulai dari sekarang berjuang mempertahankan kejujuran, insya Allah sampai tua, sampai kapanpun kamu akan jadi orang yang jujur. Enak lho, jadi orang yang jujur, ringan, nyaman, tanpa beban, dan selalu selamat karena selalu dalam lindungan Tuhan."
Perkataan Bu Sekar benar sekali. Waktu perundingan, hatiku juga bimbang. Ingin mengembalikan, tapi juga ingin menggunakan. Syukurlah, semua sudah lewat kami berhasil berjuang mempertahankan kejujuran. Semoga selamanya kami menjadi orang yang jujur agar hidup selalu tenteram, damai tanpa beban dosa. Amin.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan baik & Relevan dengan conten Artikel, Dilarang menyisipkan Link Hidup. jika Teks url blog/web atau isi di daftar tamu itu diperbolehkan, Terima kasih.